Sabtu, 26 Februari 2011

Kontekstualisasi Amandemen Visi KAMMI untuk Komisariat


KAMMI yang pada dekade keduanya mengubah frasa visi ‘masyarakat islami’ menjadi ‘bangsa dan negara islami’ terbilang cukup berani. KAMMI beralih dari asalnya ‘irsyadul mujtama’ menjadi ‘ishlahul hukumah’ dimana ianya tak lagi berkutat pada rekayasa sosial saja, tetapi juga rekayasa politik. Jika kita mengibaratkan KAMMI adalah sebuah kendaraan bermotor, maka ia tak lagi sekedar ‘tidak pelan’ dengan gigi tiga, tetapi sudah ‘berpacu kencang’ dengan gigi empat.

Konsekuensinya, KAMMI –dengan kadernya– mau tidak mau harus merambah level rekayasa kebijakan tanpa meninggalkan level grass-root sosial masyarakat. Dengannya pula, maka permasalahan pengkaderan sudah dianggap selesai, meski masih perlu banyak adaptasi di sisi implementasi manhaj.

Dalam ring tarung bebas, kita tidak hanya berbicara pertarungan kekuasaan, tetapi juga pertarungan kompetensi. Stakeholder sudah tidak bodoh (untuk tidak mengatakan belum terlalu cerdas) untuk memilih dan memilah mana dan siapa yang membawa manfaat lebih banyak. Pada era ini, seakan percuma jika mampu memegang tampuk kekuasaan tetapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan.

Deni Priyatno, Sekjen PP KAMMI 2009-2011, mengatakan, “saat ini gerakan dakwah ini sedang akan bahkan sedang memasuki fase menegara, pertanyaannya jika saat itu tiba akankah gerakan yang kita bangun mampu menegara…” Artinya, kita tidak perlu lagi bertanya kapan datangnya fase tersebut, melainkan apa yang dapat kita perbuat ketika kita berada dalam posisi tersebut? Setidaknya, KAMMI masih dapat menghela nafas setelah melihat hasil screening Indeks Prestasi kader yang dilaporkan baru-baru ini oleh Ikhsan Pallawa, Kadept. Kompetensi PP KAMMI 2009-2011, dimana rata-rata IP kammiers se-nasional di atas 3,00. Namun, tentu IP bukan satu-satunya parameter keberhasilan atau kesiapan kader KAMMI dalam menyiapkan masa depan.

Visi hasil amandemen tersebut jika kemudian kita tarik ke dalam konteks komisariat, maka konsekuensinya akan sama, karya dengan kompetensi. Secara politik, komisariat harus dengan tegas mengambil pemosisian gerakan di kampus. Sebenarnya, banyak posisi yang dapat diambil, seperti oposisi absolut, oposisi konstruktif, mitra/koalisi, atau bahkan menjadi leader political movement.

Pengambilan posisi KAMMI di kampus jelas harus melihat ketersediaan sumber daya (kuantitas) dan kemampuan penetrasi politik (kualitas). Ketika keduanya dapat didesakkan untuk bertemu pada satu titik limit threshold oleh para qa’idah fikriyah KAMMI (AB 2), maka KAMMI dapat dengan tegas mengambil posisi sejajar dengan para top leaders di kampus.

Jika secara manhaj KAMMI dianggap sudah selesai, maka muara aktifitasnya dapat ditambah untuk penajaman kompetensi gerakan para kader. Dengan demikian, pengayaan kader-kader KAMMI komisariat di berbagai organisasi politik di kampus bukanlah menjadi suatu hal yang tabu. Justru, program pengayaan ini harus didukung oleh para kader untuk memantapkan kekuatan gerakan politik dakwah. Sebagai sebuah elemen yang tidak terpisahkan dari sinergitas dakwah kampus, inilah yang harus KAMMI perbuat. Kita berharap, kontinuitas pemenangan politik bukanlah hajatan tahunan yang harus diselesaikan dengan gerasak-gerusuk, tetapi dengan kontinuitas pembinaan kematangan berpolitik melalui –salah satunya– KAMMI.

Sebagai ‘amal thulabi yang khusus diciptakan untuk mematangkan kompetensi politik, maka inilah wadah pengkaderan politisi, dan semua bermula dari kampus. Maka, insya Allah pemenangan politik ke depan bukan sekedar wacana lagi bagi KAMMI, melainkan sebuah muara pematangan kompetensi politik. Harus, tidak bisa tidak! Untuk itu pula, maka kader yang dikaryakan pun tidak boleh sembarangan, minimal AB 2 atau AB 1 tersertifikasi misalnya. Sehingga pengaruh itu kental, bukan hanya bangga dengan sekedar banyak mengkaryakan kader. Semoga, kita dapat mengambil ibrah hajatan politik tahunan kemarin.[]

Penulis : Rama Permana
Mahasiswa Insitut Teknologi Telkom, Bandung
Humas KAMMDA Bandung


Artikel Terkait: